Efektivitas JETP Genjot Transisi Energi Indonesia Dipertanyakan

Nadya Zahira
15 Agustus 2023, 17:37
jetp, transisi energi,
PLN
Ilustrasi wilayah kerja panas bumi.

Pemerintah Indonesia melalui Sekretariat Just Energy Transition Partnership (JETP) yang berkantor di Kementerian ESDM tengah menyusun rencana investasi dan kebijakan atau Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) pendanaan senilai US$ 20 miliar itu.

CIPP ini rencananya akan diumumkan Kamis 16 Agustus 2023. Namun belum juga CIPP ini terbit, banyak pihak yang mempertanyakan efektivitas pendanaan JETP dapat mendorong transisi energi di Indonesia. Salah satu yang menjadi fokus yaitu terkait porsi utang dalam pendanaan ini.

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira salah satu yang meragukan efektivitas pendanaan JETP di Indonesia. Menurutnya masih banyak ruang untuk perbaikan dari dokumen investasi JETP.

“Kemudian yang kedua kalau porsi hibahnya masih sangat kecil, kelihatanya akan susah program JETP tersebut bisa direalisasikan di Indonesia,” ujar Bhima dalam acara "Kemana Uang JETP Harus Dialirkan?", secara daring, Selasa (15/8).

Bhima mencontohkan program JETP Afrika Selatan. Efektivitas program ini di negara tersebut cukup rendah. Salah satunya karena komitmen pinjaman cukup panjang, apalagi komitmen berdasarkan pada konsesi. “Jadi ada yang harus dituruti oleh si kreditur, sehingga itu membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk realisasi,” kata dia.

Untuk diketahui, Afrika Selatan telah diumumkan sebagai penerima pertama program ini. Negara tersebut menerima pendanaan awal sebesar US$ 8,5 miliar melalui berbagai mekanisme, termasuk hibah, pinjaman lunak, investasi, dan instrumen berbagi risiko.

Disisi lain, Bhima mengatakan bahwa program pendanaan JETP ini selama enam bulan kelihatannya hanya berkutat pada masalah teknis. Menurut dia, besara angka kebutuhan energi yang nantinya akan muncul dalam dokumen JETP harus dihitung berdasarkan kebutuhan transisi energi di level masyarakat pedesaan atau komunitas.

“Kalau di dalam dokumen yang dihitung hanya untuk keperluan transisi energi yang besar-besar saja, tanpa memperhitungkan kebutuhan transisi di masyarakat yang sangat kecil di level komunitas, JETP itu harus dipertanyakan, dan menurut saya jika begitu tidak akan bisa berjalan dengan efektif,” kata dia.

Dengan demikian, dia menilai bahwa rencana pemerintah dalam mencapai Net Zero Emission (NZE) pada 2060 tak mudah dicapai jika pemerintah hanya mengandalkan pendanaan iklim JETP yang hanya berfokus pada sektor pembangkit listrik.

Bhima menuturkan, skema pendanaan JETP terbilang cukup sedikit yakni senilai US$ 20 miliar atau sekitar Rp 310 triliun. DImana jumlah tersebut hanya mengakomodir program terminasi pembangkit listrik fosil. JETP juga hanya menyasar pembangunan pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT).

"JETP ini hanya fokus pada power listrik, padahal untuk mencapai net zero harus mengikis emisi dari beberapa sektor. Seperti di sektor industri, transportasi, energi, dan sektor perumahan," ujarnya.

Merujuk laporan kinerja Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK) 2022, emisi gas rumah kaca tahun 2021 secara nasional meningkat 8,62% dari tahun sebelumnya. Adapun besaran emisi gas rumah kaca pada 2021 mencapai 595,86 juta ton Co2e, naik 1,98% dari tahun 2020.

Sumber emisi pada sektor energi meliputi emisi energi industri yang berasal dari penggunaan bahan bakar pada pembangkit listrik, panas, kilang minyak, dan proses batu bara. Diikuti oleh penggunaan bahan bakar pada transportasi dan kegiatan manufaktur.

Menurut Bhima, keberhasilan untuk bisa mewujudkan NZE 2060 bergantung pada kemauan politik pemerintah dalam mempercepat pengembangan energi baru dan terbarukan. Salah satunya yakni dengan cara memperbaiki tata kelola instalasi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap yang dinilai masih belum optimal.

JETP pertama kali diluncurkan pada KTT Perubahan Iklim PBB ke-26 di Glasgow, Skotlandia pada 2021. Program ini merupakan inisiasi kelompok negara-negara kaya yang tergabung dalam IPG antara lain Inggris, Prancis, Jerman, Amerika Serikat (AS), dan Uni Eropa (UE).

Program pendanaan ini untuk membantu negara-negara berkembang meninggalkan energi batu bara. Sekaligus mendorong transisi ke penggunaan teknologi yang lebih rendah karbon.

Indonesia adalah salah satu negara yang berpotensi menerima pendanaan tersebut. Indonesia diperkirakan membutuhkan investasi transisi energi mencapai US$ 25-30 miliar atau sekitar Rp 393-471 triliun selama delapan tahun ke depan.

Proses negosiasi yang sedang dilakukan Indonesia merupakan bagian dari ekspansi JETP pada 2022. Program ini juga menyasar India, Vietnam, dan Senegal.

Reporter: Nadya Zahira

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...